Sabtu, 16 April 2011

cerita Syekh Abdul Qadir Jailani



Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir al-jailani, se­moga Allah merahmatinya, adalah al-ghawts al-a'zham, manifestasi sifat Allah "Yang Maha Agung", yang mendengar permohonan dan memberikan pertolongan, dan al-quthb al­a'zham—pusat dan ujung kembara ruhani, pemimpin ruhani dunia, Alquran hikmah, perbendaharaan ilmu, teladan iman dan Islam, pewaris hakiki kesempurnaan Nabi Muhammad. la termasuk manusia sempurna—insiln kdmil; pendiri Tarekat Qadiriyah, yang tersebar luas di dunia Islam dan telah men­jaga makna tasawuf selama berabad-abad hingga kini.

la lahir pada 470 H. (1077-1078 M.) di al-jily, kini ter­masuk wilayah Iran. Tahun kelahirannya ini didasarkan atas tahun ketika tiba di Baghdad bertepatan dengan wafatnya se­orang ulama terkenal, al-Tamimi, yakni pada 488 H. Ibu­nya, Ummul Khayr Fatimah binti al-Syekh Abdullah Sumi, keturunan Rasulullah saw. melalui cucu terkasihnya, Husain, menuturkan, "Anakku, Abdul Qadir lahir di bulan Rama­dan. Di siang hari bulan Ramadan, bayiku itu tak pernah mau diberi makan."

Diriwayatkan bahwa pada suatu Ramadan, ketika Abdul Qadir masih bayi, orang-orang tak dapat melihat hilal kare­na tertutup awan. Akhirnya, untuk menentukan awal puasa, mereka mendatangi rumah Ummul Khayr dan menanya­kan apakah bayinya sudah makan hari itu. Saat mengeta­hui bahwa anak itu tak mau makan, mereka yakin bahwa Ramadan telah tiba.

Syekh Abdul Qadir menceritakan pengalamannya di masa kecil:

Di waktu kecil, ada malaikat yang selalu datang kepada­ku setiap hari dalam rupa pemuda tampan. Ia menemaniku ketika aku berjalan menuju madrasah dan membuat teman­temanku selalu mengutamakan diriku. Ia menemaniku se­harian hingga aku pulang. Dalam sehari, aku peroleh ilmu lebih banyak daripada yang diperoleh teman-teman sebaya‑

ku selama satu minggu. Aku tak pernah mengenali pemuda itu. Suatu hari, ketika aku bertanya kepadanya, ia menjawab, "Aku adalah malaikat yang diutus Allah. Dia mengutusku un­tuk melindungimu selama kau belajar."

Dalam kesempatan yang lain la bercerita:

Setiap kali terlintas keinginan untuk bermain bersama te­man-temanku, aku selalu mendengar bisikan: "Jangan berma­in, tetapi datanglah kepadaku wahai hamba yang dirahmati." Karena takut, aku berlari ke dalam pelukan Ibu. Kini, meski­pun aku beribadah dan berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa mendengar suara itu sejelas dulu.

Ketika ditanya mengenai apa yang mengantarkannya ke­pada maqam ruhani yang tinggi, ia menjawab, "Kejujuran yang pernah kujanjikan kepada ibuku." Kemudian Syekh menuturkan kisah berikut:

Pada suatu pagi di hari raya Idul Adha, aku pergi ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan di belakang keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh dan memandangku, lalu berka­ta, "Kau tercipta bukan untuk hal semacam ini!" Mendengar hewan itu berkata-kata, aku sangat ketakutan. Aku segera ber­lari pulang dan naik ke atap rumah. Ketika memandang kedepan, kulihat dengan jelas para jamaah haji sedang wukuf di Arafah.

Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya, "Izinkan aku menempuh jalan kebenaran, biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para orang bijak dan orang-orang yang dekat kepa­da Allah." Ketika ibuku menanyakan alasan keinginanku yang tiba-tiba, kuceritakan apa yang terjadi. Mendengar penuturan­ku, ia menangis sedih. Namun, ia keluarkan delapan puluh keping emas harta satu-satunya warisan ayahku. Ia sisihkan empat puluh keping untuk saudaraku. Empat puluh keping lainnya dijahitkannya di bagian lengan mantelku. Ia membe­riku izin untuk pergi seraya berwasiat agar aku selalu bersikap jujur, apa pun yang terjadi. Sebelum berpisah, ibuku berkata, "Anakku, semoga Allah menjaga dan membimbingmu. Aku ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku sadar, aku tak­kan bertemu lagi denganmu hingga hari kiamat."

Aku ikut sebuah kafilah kecil menuju Baghdad. Baru saja meninggalkan kota Hamadan, sekelompok perampok, yang terdiri atas enam puluh orang berkuda, menghadang kami. Mereka merampas semua harta milik anggota kafilah. Salah seorang perampok mendekatiku dan bertanya, "Anak muda, apa yang kaumiliki?" Kukatakan bahwa aku punya empat puluh keping emas. Ia bertanya lagi, "Di mana?" Kukatakan, "Di bawah ketiakku." la tertawa-tawa dan pergi meninggal­kanku. Perampok lainnya menghampiriku dan menanyakan hal yang sama. Aku menjawab sejujurnya. Tetapi seperti ka­wannya, ia pun pergi sambil tertawa mengejek. Kedua peram­pok itu mungkin melaporkanku kepada pemimpinnya, karena tak lama kemudian pimpinan gerombolan itu memanggilku agar mendekati mereka yang sedang membagi-bagi hasil ram­pokan. Si pemimpin bertanya apakah aku memiliki harta. Kujawab bahwa aku punya empat puluh keping emas yang dijahitkan di bagian lengan mantelku. Ia ambil mantelku, ia sobek, dan ia temukan keping-keping emas itu. Keheranan, ia bertanya, "Mengapa kau memberitahu kami, padahal hartamu itu aman tersembunyi?"

"Aku harus berkata jujur karena telah berjanji kepada ibuku untuk selalu bersikap jujur."

Mendengar jawabanku, pemimpin perampok itu tersung­kur menangis. la berkata, "Aku ingat janjiku kepada Dia yang telah menciptakanku. Selama ini aku telah merampas harta orang dan membunuh. Betapa besar bencana yang akan me­nimpaku!?" Anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu berkata, "Kau memimpin kami dalam dosa. Kini, pimpinlah kami dalam tobat!" Keenam puluh orang itu memegang ta­nganku dan bertobat. Mereka adalah kelompok pertama yang memegang tanganku dan mendapat ampunan atas dosa-dosa mereka.

Abdul Qadir berusia delapan belas tahun ketika tiba di Baghdad. Saat tiba di gerbang kota, Khidir muncul dan me­larangnya memasuki kota. Khidir mengatakan bahwa Allah melarangnya memasuki kota itu selama enam tahun. Ke­mudian Khidir membawanya ke sebuah bangunan tua dan berkata, "Tinggallah di sini dan jangan pergi meninggalkan tempat ini."

Akhirnya la menetap di sana selama tiga tahun. Setiap tahun Khidir datang dan memerintahkannya menetap di sana. Mengenai pengalamannya di tempat itu, Syekh Abdul Qadir bercerita:

Selama menetap di padang pasir di luar Baghdad, semua yang kulihat hanyalah keindahan dunia. Semuanya menggodaku. Namun, Allah melindungiku dari godaannya. Setan, yang muncul dalam berbagai paras dan rupa, terus mendatang­iku, menggoda, mengusik, bahkan menyerangku. Allah selalu menjadikanku sebagai pemenang. Hawa nafsuku pun datang setiap hari dengan paras dan rupa diriku sendiri memohon agar aku sudi menjadi sahabatnya. Ketika kutolak, ia menye­rangku. Allah menjadikanku sebagai pemenang dalam pepe­rangan tanpa henti ini. Aku berhasil menjadikannya sebagai tawananku selama bertahun-tahun dan memaksanya tinggal di bangunan tua di padang pasir itu. Selama beberapa tahun aku hanya makan rerumputan dan akar-akaran yang dapat kutemukan. Selama itu pula aku tak pernah minum. Tahun berikutnya, aku hanya minum tanpa makan apa-apa. Dan ta­hun berikutnya aku tak makan, tak minum, bahkan tak tidur. Aku tinggal di bangunan tua istana raja-raja Persia di Karkh. Aku berjalan bertelanjang kaki di alas duri-duri padang pasir dan tak merasakan apa-apa. Aku terus berjalan. Setiap kali kulihat tebing, aku mendakinya. Tak sedikit pun kuberikan kesempatan kepada hawa nafsuku untuk beristirahat atau merasa nyaman.

Di akhir tahun ketujuh, pada suatu malam, aku mende­ngar satu suara menyeru, "Hai Abdul Qadir, kini kau dapat memasuki Baghdad."

Akhirnya, kumasuki kota Baghdad dan tinggal di sana selama beberapa hari. Namun, aku tak tahan menyaksikan ke­maksiatan, kesesatan, dan kelicikan yang merajalela di kota itu. Agar terhindar dari pengaruh buruknya, aku pergi me­ninggalkan Baghdad dengan hanya membawa Alquran. Na­mun, ketika tiba di gerbang kota itu untuk kembali menyen­diri di padang sahara, kudengar satu suara berbisik, "Kemana kau akan pergi?" katanya, "Kembalilah. Kau harus menolong masyarakat. "

"Kenapa harus kupedulikan orang-orang bobrok itu?" se­ruku lantang, "aku harus melindungi imanku."

"Kembalilah, dan jangan khawatirkan imanmu," bisikan suara itu terdengar lagi. "Tak ada sesuatu pun yang akan membahayakan dirimu." Aku tak dapat melihat siapa gerang­an yang berbicara itu.

Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Entah apa yang mendorongku, tiba-tiba aku bertafakur. Seharian aku berdoa kepada Allah semoga Dia berkenan membukakan tabir dariku sehingga mengetahui apa yang harus kulakukan.

Hari berikutnya, ketika aku mengembara di pinggiran Baghdad, di sekitar Muzafariyah, seorang lelaki, yang tak per­nah kukenal sebelumnya, membuka pintu rumahnya dan me­manggilku, "Hai Abdul Qadir!"

Ketika berada tepat di depan pintu rumahnya, ia berka­ta, "Katakan kepadaku apa yang kauminta kepada Allah? Apa yang kaudoakan kemarin?"

Aku diam terpaku. Tak dapat kutemukan jawaban. Orang itu menatapku, lalu tiba-tiba membanting pintu dengan sa­ngat keras sehingga debu-debu beterbangan dan mengotori nyaris seluruh tubuhku. Aku pergi, sambil bertanya-tanya apa yang kupinta kepada Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil mengingatnya, lalu kembali ke rumah orang itu untuk mem­berikan jawaban. Namun, rumah tadi tak dapat kutemukan,

begitu pun orang itu. Rasa takut menyelubungiku. Pikirku, ia tentu orang yang dekat kepada Allah. Kelak, aku mengetahui bahwa orang itu adalah Hammad al-Dabbas, yang kemudian menjadi guruku.

Pada suatu malam yang dingin, di tengah guyuran hu­jan deras, tangan gaib menuntun Abdul Qadir ke tekke, pa­depokan tasawuf milik Syekh Hammad ibn Muslim al-Dab­bas. Pemimpin padepokan itu, yang mengetahui kedatang­an Abdul Qadir melalui ilham, memerintahkan agar pintu padepokan ditutup dan lampu dipadamkan. Setibanya di depan pintu padepokan, Abdul Qadir dilanda kantuk yang hebat dan langsung tertidur lelap. Dalam tidurnya la ber­hadas besar sehingga ia pergi untuk mandi dan berwudu di sungai. Usai bersuci, kembali la tertidur dan berhadas lagi—hingga tujuh kali dalam semalam. Tujuh kali la mandi dan berwudu dengan air yang nyaris membekukan tubuh. Keesokan pagmya, pintu padepokan dibuka dan ia pun ma­suk ke dalamnya. Syekh Hammad bangkit untuk mengucap­kan salam kepadanya. Dengan penuh sukacita, Syekh me­meluknya dan berkata, "Wahai anakku, Abdul Qadir, hari ini keberuntungan milik kami. Esok, engkaulah pemiliknya.

Jangan pernah tinggalkan jalan ini." Syekh Hammad men­jadi guru pertamanya dalam tasawuf. Melalui tangan Syekh itulah ia bersumpah dan memasuki jalan tarekat.

Mengenai hal ini, Abdul Qadir meriwayatkan:

Aku belajar kepada banyak guru di Baghdad. Namun, setiap kali aku tak dapat memahami sesuatu atau ingin mengeta­hui suatu rahasia, Syekh Hammad memberiku penjelasan. Kadang-kadang aku memintanya mencari ilmu dari ularna lain—mengenai akidah, hadis, fikih, dan lain-lain. Setiap kali aku pulang ke padepokan, ia selalu bertanya,

"Ke mana saja kau? Selama kepergianmu, kami dapat­kan begitu banyak makanan yang sangat lezat bagi tubuh, akal, Serta jiwa dan tak sedikit pun yang kami sisakan un­tukmu!"

Di saat yang lain, ia berkata, "Demi Allah, dari mana saja? Adakah orang lain di sini yang lebih tahu daripada engkau?"

Murid-muridnya selalu mengusikku dengan mengatakan, "Kau adalah ahli fikih, mahir menulis, dan ahli ilmu. Meng­apa kau tidak keluar saja dari sini?"

Syekh menegur dan menenangkan mereka, "Sungguh me­malukan! Aku bersumpah, tak ada di antara kalian yang se­perti dia. Tak ada seorang pun di antara kalian yang lebih tinggi dari tumitnya! jika kalian kira bahwa aku iri kepada­nya dan kalian mendukungku, ketahuilah bahwa aku justru akan mengujinya dan mengantarkannya kepada kesempurna­an. Ketahuilah, di alam ruhani, kedudukannya seperti batu sebesar gunung."

0 komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...