Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir al-jailani, semoga Allah merahmatinya, adalah al-ghawts al-a'zham, manifestasi sifat Allah "Yang Maha Agung", yang mendengar permohonan dan memberikan pertolongan, dan al-quthb ala'zham—pusat dan ujung kembara ruhani, pemimpin ruhani dunia, Alquran hikmah, perbendaharaan ilmu, teladan iman dan Islam, pewaris hakiki kesempurnaan Nabi Muhammad. la termasuk manusia sempurna—insiln kdmil; pendiri Tarekat Qadiriyah, yang tersebar luas di dunia Islam dan telah menjaga makna tasawuf selama berabad-abad hingga kini.
la lahir pada 470 H. (1077-1078 M.) di al-jily, kini termasuk wilayah Iran. Tahun kelahirannya ini didasarkan atas tahun ketika tiba di Baghdad bertepatan dengan wafatnya seorang ulama terkenal, al-Tamimi, yakni pada 488 H. Ibunya, Ummul Khayr Fatimah binti al-Syekh Abdullah Sumi, keturunan Rasulullah saw. melalui cucu terkasihnya, Husain, menuturkan, "Anakku, Abdul Qadir lahir di bulan Ramadan. Di siang hari bulan Ramadan, bayiku itu tak pernah mau diberi makan."
Diriwayatkan bahwa pada suatu Ramadan, ketika Abdul Qadir masih bayi, orang-orang tak dapat melihat hilal karena tertutup awan. Akhirnya, untuk menentukan awal puasa, mereka mendatangi rumah Ummul Khayr dan menanyakan apakah bayinya sudah makan hari itu. Saat mengetahui bahwa anak itu tak mau makan, mereka yakin bahwa Ramadan telah tiba.
Syekh Abdul Qadir menceritakan pengalamannya di masa kecil:
Di waktu kecil, ada malaikat yang selalu datang kepadaku setiap hari dalam rupa pemuda tampan. Ia menemaniku ketika aku berjalan menuju madrasah dan membuat temantemanku selalu mengutamakan diriku. Ia menemaniku seharian hingga aku pulang. Dalam sehari, aku peroleh ilmu lebih banyak daripada yang diperoleh teman-teman sebaya‑
ku selama satu minggu. Aku tak pernah mengenali pemuda itu. Suatu hari, ketika aku bertanya kepadanya, ia menjawab, "Aku adalah malaikat yang diutus Allah. Dia mengutusku untuk melindungimu selama kau belajar."
Dalam kesempatan yang lain la bercerita:
Setiap kali terlintas keinginan untuk bermain bersama teman-temanku, aku selalu mendengar bisikan: "Jangan bermain, tetapi datanglah kepadaku wahai hamba yang dirahmati." Karena takut, aku berlari ke dalam pelukan Ibu. Kini, meskipun aku beribadah dan berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa mendengar suara itu sejelas dulu.
Ketika ditanya mengenai apa yang mengantarkannya kepada maqam ruhani yang tinggi, ia menjawab, "Kejujuran yang pernah kujanjikan kepada ibuku." Kemudian Syekh menuturkan kisah berikut:
Pada suatu pagi di hari raya Idul Adha, aku pergi ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan di belakang keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh dan memandangku, lalu berkata, "Kau tercipta bukan untuk hal semacam ini!" Mendengar hewan itu berkata-kata, aku sangat ketakutan. Aku segera berlari pulang dan naik ke atap rumah. Ketika memandang kedepan, kulihat dengan jelas para jamaah haji sedang wukuf di Arafah.
Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya, "Izinkan aku menempuh jalan kebenaran, biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para orang bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah." Ketika ibuku menanyakan alasan keinginanku yang tiba-tiba, kuceritakan apa yang terjadi. Mendengar penuturanku, ia menangis sedih. Namun, ia keluarkan delapan puluh keping emas harta satu-satunya warisan ayahku. Ia sisihkan empat puluh keping untuk saudaraku. Empat puluh keping lainnya dijahitkannya di bagian lengan mantelku. Ia memberiku izin untuk pergi seraya berwasiat agar aku selalu bersikap jujur, apa pun yang terjadi. Sebelum berpisah, ibuku berkata, "Anakku, semoga Allah menjaga dan membimbingmu. Aku ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku sadar, aku takkan bertemu lagi denganmu hingga hari kiamat."
Aku ikut sebuah kafilah kecil menuju Baghdad. Baru saja meninggalkan kota Hamadan, sekelompok perampok, yang terdiri atas enam puluh orang berkuda, menghadang kami. Mereka merampas semua harta milik anggota kafilah. Salah seorang perampok mendekatiku dan bertanya, "Anak muda, apa yang kaumiliki?" Kukatakan bahwa aku punya empat puluh keping emas. Ia bertanya lagi, "Di mana?" Kukatakan, "Di bawah ketiakku." la tertawa-tawa dan pergi meninggalkanku. Perampok lainnya menghampiriku dan menanyakan hal yang sama. Aku menjawab sejujurnya. Tetapi seperti kawannya, ia pun pergi sambil tertawa mengejek. Kedua perampok itu mungkin melaporkanku kepada pemimpinnya, karena tak lama kemudian pimpinan gerombolan itu memanggilku agar mendekati mereka yang sedang membagi-bagi hasil rampokan. Si pemimpin bertanya apakah aku memiliki harta. Kujawab bahwa aku punya empat puluh keping emas yang dijahitkan di bagian lengan mantelku. Ia ambil mantelku, ia sobek, dan ia temukan keping-keping emas itu. Keheranan, ia bertanya, "Mengapa kau memberitahu kami, padahal hartamu itu aman tersembunyi?"
"Aku harus berkata jujur karena telah berjanji kepada ibuku untuk selalu bersikap jujur."
Mendengar jawabanku, pemimpin perampok itu tersungkur menangis. la berkata, "Aku ingat janjiku kepada Dia yang telah menciptakanku. Selama ini aku telah merampas harta orang dan membunuh. Betapa besar bencana yang akan menimpaku!?" Anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu berkata, "Kau memimpin kami dalam dosa. Kini, pimpinlah kami dalam tobat!" Keenam puluh orang itu memegang tanganku dan bertobat. Mereka adalah kelompok pertama yang memegang tanganku dan mendapat ampunan atas dosa-dosa mereka.
Abdul Qadir berusia delapan belas tahun ketika tiba di Baghdad. Saat tiba di gerbang kota, Khidir muncul dan melarangnya memasuki kota. Khidir mengatakan bahwa Allah melarangnya memasuki kota itu selama enam tahun. Kemudian Khidir membawanya ke sebuah bangunan tua dan berkata, "Tinggallah di sini dan jangan pergi meninggalkan tempat ini."
Akhirnya la menetap di sana selama tiga tahun. Setiap tahun Khidir datang dan memerintahkannya menetap di sana. Mengenai pengalamannya di tempat itu, Syekh Abdul Qadir bercerita:
Selama menetap di padang pasir di luar Baghdad, semua yang kulihat hanyalah keindahan dunia. Semuanya menggodaku. Namun, Allah melindungiku dari godaannya. Setan, yang muncul dalam berbagai paras dan rupa, terus mendatangiku, menggoda, mengusik, bahkan menyerangku. Allah selalu menjadikanku sebagai pemenang. Hawa nafsuku pun datang setiap hari dengan paras dan rupa diriku sendiri memohon agar aku sudi menjadi sahabatnya. Ketika kutolak, ia menyerangku. Allah menjadikanku sebagai pemenang dalam peperangan tanpa henti ini. Aku berhasil menjadikannya sebagai tawananku selama bertahun-tahun dan memaksanya tinggal di bangunan tua di padang pasir itu. Selama beberapa tahun aku hanya makan rerumputan dan akar-akaran yang dapat kutemukan. Selama itu pula aku tak pernah minum. Tahun berikutnya, aku hanya minum tanpa makan apa-apa. Dan tahun berikutnya aku tak makan, tak minum, bahkan tak tidur. Aku tinggal di bangunan tua istana raja-raja Persia di Karkh. Aku berjalan bertelanjang kaki di alas duri-duri padang pasir dan tak merasakan apa-apa. Aku terus berjalan. Setiap kali kulihat tebing, aku mendakinya. Tak sedikit pun kuberikan kesempatan kepada hawa nafsuku untuk beristirahat atau merasa nyaman.
Di akhir tahun ketujuh, pada suatu malam, aku mendengar satu suara menyeru, "Hai Abdul Qadir, kini kau dapat memasuki Baghdad."
Akhirnya, kumasuki kota Baghdad dan tinggal di sana selama beberapa hari. Namun, aku tak tahan menyaksikan kemaksiatan, kesesatan, dan kelicikan yang merajalela di kota itu. Agar terhindar dari pengaruh buruknya, aku pergi meninggalkan Baghdad dengan hanya membawa Alquran. Namun, ketika tiba di gerbang kota itu untuk kembali menyendiri di padang sahara, kudengar satu suara berbisik, "Kemana kau akan pergi?" katanya, "Kembalilah. Kau harus menolong masyarakat. "
"Kenapa harus kupedulikan orang-orang bobrok itu?" seruku lantang, "aku harus melindungi imanku."
"Kembalilah, dan jangan khawatirkan imanmu," bisikan suara itu terdengar lagi. "Tak ada sesuatu pun yang akan membahayakan dirimu." Aku tak dapat melihat siapa gerangan yang berbicara itu.
Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Entah apa yang mendorongku, tiba-tiba aku bertafakur. Seharian aku berdoa kepada Allah semoga Dia berkenan membukakan tabir dariku sehingga mengetahui apa yang harus kulakukan.
Hari berikutnya, ketika aku mengembara di pinggiran Baghdad, di sekitar Muzafariyah, seorang lelaki, yang tak pernah kukenal sebelumnya, membuka pintu rumahnya dan memanggilku, "Hai Abdul Qadir!"
Ketika berada tepat di depan pintu rumahnya, ia berkata, "Katakan kepadaku apa yang kauminta kepada Allah? Apa yang kaudoakan kemarin?"
Aku diam terpaku. Tak dapat kutemukan jawaban. Orang itu menatapku, lalu tiba-tiba membanting pintu dengan sangat keras sehingga debu-debu beterbangan dan mengotori nyaris seluruh tubuhku. Aku pergi, sambil bertanya-tanya apa yang kupinta kepada Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil mengingatnya, lalu kembali ke rumah orang itu untuk memberikan jawaban. Namun, rumah tadi tak dapat kutemukan,
begitu pun orang itu. Rasa takut menyelubungiku. Pikirku, ia tentu orang yang dekat kepada Allah. Kelak, aku mengetahui bahwa orang itu adalah Hammad al-Dabbas, yang kemudian menjadi guruku.
Pada suatu malam yang dingin, di tengah guyuran hujan deras, tangan gaib menuntun Abdul Qadir ke tekke, padepokan tasawuf milik Syekh Hammad ibn Muslim al-Dabbas. Pemimpin padepokan itu, yang mengetahui kedatangan Abdul Qadir melalui ilham, memerintahkan agar pintu padepokan ditutup dan lampu dipadamkan. Setibanya di depan pintu padepokan, Abdul Qadir dilanda kantuk yang hebat dan langsung tertidur lelap. Dalam tidurnya la berhadas besar sehingga ia pergi untuk mandi dan berwudu di sungai. Usai bersuci, kembali la tertidur dan berhadas lagi—hingga tujuh kali dalam semalam. Tujuh kali la mandi dan berwudu dengan air yang nyaris membekukan tubuh. Keesokan pagmya, pintu padepokan dibuka dan ia pun masuk ke dalamnya. Syekh Hammad bangkit untuk mengucapkan salam kepadanya. Dengan penuh sukacita, Syekh memeluknya dan berkata, "Wahai anakku, Abdul Qadir, hari ini keberuntungan milik kami. Esok, engkaulah pemiliknya.
Jangan pernah tinggalkan jalan ini." Syekh Hammad menjadi guru pertamanya dalam tasawuf. Melalui tangan Syekh itulah ia bersumpah dan memasuki jalan tarekat.
Mengenai hal ini, Abdul Qadir meriwayatkan:
Aku belajar kepada banyak guru di Baghdad. Namun, setiap kali aku tak dapat memahami sesuatu atau ingin mengetahui suatu rahasia, Syekh Hammad memberiku penjelasan. Kadang-kadang aku memintanya mencari ilmu dari ularna lain—mengenai akidah, hadis, fikih, dan lain-lain. Setiap kali aku pulang ke padepokan, ia selalu bertanya,
"Ke mana saja kau? Selama kepergianmu, kami dapatkan begitu banyak makanan yang sangat lezat bagi tubuh, akal, Serta jiwa dan tak sedikit pun yang kami sisakan untukmu!"
Di saat yang lain, ia berkata, "Demi Allah, dari mana saja? Adakah orang lain di sini yang lebih tahu daripada engkau?"
Murid-muridnya selalu mengusikku dengan mengatakan, "Kau adalah ahli fikih, mahir menulis, dan ahli ilmu. Mengapa kau tidak keluar saja dari sini?"
Syekh menegur dan menenangkan mereka, "Sungguh memalukan! Aku bersumpah, tak ada di antara kalian yang seperti dia. Tak ada seorang pun di antara kalian yang lebih tinggi dari tumitnya! jika kalian kira bahwa aku iri kepadanya dan kalian mendukungku, ketahuilah bahwa aku justru akan mengujinya dan mengantarkannya kepada kesempurnaan. Ketahuilah, di alam ruhani, kedudukannya seperti batu sebesar gunung."
0 komentar:
Posting Komentar